RUWATAN SEBAGAI RITUAL PENGHAPUSAN DOSA
DALAM TRADISI ORANG JAWA
Pengertian
Bangsa
Indonesia memiliki beranekaragam kebudayaan dan kepercayaan yang lahir di
setiap kepulauan. Salah satu suku di
Indonesia yang kaya akan warisan kebudayaan adalah suku Jawa. Tradisi orang
Jawa memiliki begitu banyak ritual upacara yang mempunyai makna dan tujuan yang
beragam. Salah satu ritual yang ditujukan untuk menolak bala adalah ruwatan. Kata
Ruwatan menurut Kamus Jawa Kuna berasal
dari kata ruwat yang berarti rusak;
binasa; bejat; copot; lepas[1].
Diruwat berarti dilepaskan. Ada juga
buku yang mengartikan ruwatan sebagai
pembebasan, penolakan, pembersihan atau penyucian. Tradisi ini erat hubungannya
dengan mitos Batara Kala yang
merupakan lambang dari sosok kejahatan dan
pemangsa manusia.
Asal mula Ruwatan
berkaitan dengan kisah kelahiran Batara
Kala. Konon, Batara Guru dan
permaisurinya, Dewi Uma terbang
mengelilingi jagat raya dengan mengendarai Lembu
Handini. Wajah permaisuri menjadi tambah cantik dan menawan ketika terkena
sinar Sang Hyang Surya, sehingga
membuat
Batara Guru bergelora dan ingin bercinta dengan permaisurinya.
Keinginan itu ditolak oleh Dewi Uma,
karena dia malu kalau ada dewa-dewi yang melihat mereka bercinta di atas Lembu Handini. Batara Guru tidak bisa menahan hasratnya untuk bercinta dan akhirnya
air sucinya (sperma) jatuh ke
samudera. Air suci yang jatuh itu
akhirnya menjadi raksasa dan diberi nama Batara
Kala. Ketika Batara Kala merasa
lapar dia memangsa bangsa manusia. Batara
Guru pun takut kalau manusia di muka bumi lenyap dan ia memanggil Batara Kala datang menghadapnya.
Akhirnya, Batara Kala diperbolehkan
memangsa manusia yang mempunyai “dosa” tertentu oleh Batara Guru. Tetapi, jika manusia yang ber”dosa” itu sudah diruwat
oleh dhalang Kandha Buwana penjelmaan
Wisnu, Batara Kala tidak boleh memangsa manusia itu.
Ritus Ruwatan
Pada
malam hari sebelum upacara, diadakan malam
anggara kasih atau malam kebahagiaan.[2]
Upacara ruwatan biasanya disertai
dengan pertunjukan wayang kulit pada siang hari dengan mengambil lakon Murwakala atau Sudamala. Kata Murwakala
atau purwakala berasal dari kata purwa
(asal mula manusia). Pada pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah
kesadaran atas ketidaksempurnaannya diri manusia, yang selalu terlibat dalam
kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedhaden). Upacara
ini dipimpin oleh seorang dukun yang pandai menyembuhkan penyakit dan
mengenyahkan roh jahat. Selain itu, dukun itu akan menjadi dalang pada pertunjukan
wayang yang akan digelar dan menguasai rumusan untuk ngeruwat. Rumusan itu akan dibacakan oleh dalang setelah
pertunjukan wayang tanpa berhenti terlebih dahulu.
Orang
yang akan diruwat harus mengenakan kain putih selama upacara. Ia sebelumnya
akan dimandikan dengan air kembang
setaman. Setelah itu rambutnya juga akan dipotong sedikit untuk
menghilangkan “dosa”nya. Rambut itu kemudian akan dipetak (dikubur) atau dihanyutkan dilarung (di sungai). Ada juga beberapa sajen yang harus dipersiapkan dalam upacara ngeruwat. Sajen yang
disediakan biasanya banyak dari tumbuh-tumbuhan yang merupakan bahan-bahan
makanan. Menurut pakem Murwakala ada
beberapa jenis barang sajen yang
digunakan dalam upacara ruwatan, di
antaranya adalah:
1).
Tuwuhan, yaitu pisang dengan buahnya, cengkir kelapa masih muda, janur, (daun kelapa muda), pohon tebu masing-masing
dua pasang dan dipajangkan di kanan kiri kelir
(layar atau tabir untuk mempergelarkan
wayang);
Selain itu, ada juga
sesajian berupa, api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan, bermacam-macam nasi, bermacam-macam jenang
(bubur), jajan
pasar (buah-buahan yang bermacam-macam), hewan, benang lawe, dan sebagainya. Selesai
upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros, ditanam pada
keempat ujung rumah disertai empluk (tempayan
kecil) yang berisi kacang hijau, kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon
keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita-citakan.
Tujuan Ruwatan
Tujuan diadakannya Ruwatan berdasarkan artinya adalah untuk
menolak atau membersihkan noda atau dosa yang ditanggung oleh seseorang.
Orang-orang yang menjadi mangsa Batara
Kala dan harus diruwat disebut
dengan kaum sukerta. Sukerta berasal dari bahasa Jawa yang
artinya noda atau aib.[4]
Ada yang menyebutkan bahwa ada 46 jenis sukerta,
ada yang 60 dan ada juga yang 136 jenis. Akan tetapi dewasa ini ada 46 saja
yang sering digunakan setelah terjadi penyaringan. Ada sukerta oleh karena kelalaian, misalnya orang yang ketika menanak
nasi merobohkan dandhang tempat
menanak nasi, anak gadis yang duduk di tengah pintu, dan banyak lagi yang lainnya.
Beberapa sukerta dari kelahiran
antara lain adalah:
1. Anak tunggal (ontang-anting)
2. Anak pria dengan beberapa adik wanita (pacuran piniring sendhang)
3. Anak wanita dengan beberapa adik pria (sendhang piniring pancuran)
4. Dua bersaudara yaitu seorang pria dan
seorang wanita (kedhana-kedhini)
5. Empat bersaudara yaitu dua pria dan dua
wanita (sekar sepasang)
6. Anak kembar (putra kembar)
7. Anak pria dengan seorang kakak dan adik
wanita (pancuran kapit sendhang)
8. Anak wanita dengan seorang kakak dan adik
pria (sendhang kapit pancuran)
9. Anak pria di antara tiga saudara wanita (uger-uger lawang)
10. Anak wanita di antara tiga saudara pria (upit-upit)
11. Empat anak yang semuanya pria (putra serombe)
12. Empat anak yang semuanya wanita (putra serimpi)
13. Lima anak yang semuanya pria (putra pendhawa)
14. Lima anak yang semuanya wanita (putra pendhawa padangan)[5]
Bagi para sukerta salah kedadhen upacara ruwatan dimaksudkan supaya kesalahan
tidak berdampak pada keluarga atau masyarakat di sekitarnya. Maka sukerta harus
disucikan untuk dibebaskan dari “dosa” yang mengikatnya pada saat ia dilahirkan.
Penyucian juga berlaku bagi mereka yang lalai dan melakukan perbuatan yang
dipandang ora ilok. Dalam hal ini, ruwatan juga bisa dimaksudkan sebagai
upaya untuk menegakkan norma-norma baik keagamaan, susila, maupun sopan
santun. Ruwatan bukan hanya dipandang sebagai sebuah ritual untuk
melaksanakan “kewajiban”, tetapi juga sebagai wujud kerinduan manusia akan
keselamatan agar terbebas dari mangsa Batara
Kala. Upacara ngeruwat merupakan
upacara yang khas agama jawi dan dimaksudkan
untuk melindungi anak atau seseorang terhadap bahaya-bahaya gaib yang
dilambangkan dengan tokoh Batara Kala. Upacara
ini sekaligus juga menjadi sarana untuk memperbaiki keselarasan manusia dengan
sesama, alam semesta dan terlebih pada Yang Mahakuasa. Ruwatan bertujuan memohon ampun pada Yang Mahakuasa dan memohon
dibersihkan dari sukerta yang melekat
pada dirinya, selanjutnya agar hidupnya selalu dalam lindungan keselamatan dan
limpahan kesejahteraan.[6]
Ruwatan Direfleksikan dalam Iman Katolik
Orang
Jawa memandang ruwatan sebagai sebuah ritual untuk menyelamatkan si sukerta dari sesuatu yang “jahat”. Orang
yang tertimpa keadaan demikian perlu disucikan atau dibersihkan. Upacara
ruwatan mempunyai maksud keselamatan hidup manusia sukerta, sebagai
akibat kejadian hidup manusia, baik kejadian waktu manusia mulai lahir ataupun
oleh perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dosa ada dalam sejarah
manusia. Allah tidak akan membiarkan manusia berada di bawah kuasa dosa. Keadaan
manusia yang berdosa, dalam iman Katolik perlu adanya upaya pembebasan untuk
disucikan kembali dari dosa yang membelenggunya. Ada umat yang berpandangan
bahwa realitas ruwatan dalam iman Katolik
dirasa mengaburkan sakramen baptis dan pengakuan dosa yang menjadi sarana
penghapusan dosa. Gereja telah menyediakan sarana keselamatan dengan sakramen-sakramen
yang dapat membantu umat dalam menuju kesucian dan kebersamaan dengan Allah.
Ruwatan sebagai
sarana penghapusan dosa dapat diterima dalam Gereja jika telah disesuaikan
dengan ajaran dan ritus liturgi Gereja. Ada seorang romo di Jawa yang memadukan
perayaan Ekaristi dan ruwatan dengan
menyesuaikan ritusnya agar tetap Allah yang menjadi tujuannya. Usaha-usaha
akulturatif ruwatan ini ke dalam penghayatan iman katolik, memang rasanya
masih memerlukan pengolahan lebih matang dan mendalam. Ada unsur-unsur yang
bisa diubah dan Gereja mempunyai wewenang untuk itu, bahkan kadang bisa
bertugas untuk menyesuaikannya dengan aneka ragam kebudayaan. Gereja itu
Katolik, maka dapat mengintegrasikan semua kekayaan autentik dari
bermacam-macam budaya ke dalam kesatuannya.
Kekayaan Kristus yang tak
terperikan tidak dapat dimuat oleh tradisi liturgi manapun. Karenanya sejak
semula, kekayaan itu diungkapkan melalui bermacam-macam bangsa dan budaya dalam
bermacam-macam cara yang bercirikan keanekaragaman yang indah dan saling
melengkapi.[7]
Bibliografi
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa.
Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984
Koentjaraningrat. Ritus Peralihan Di
Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1985
KWI. Kompedium Katekismus Gereja
Katolik. Yogyakarta:Kanisius, 2009
Mardiwarsito, L. Kamus Jawa Kuna
Indonesia. Ende: Nusa Indah, 1978
Sastro Utomo, Sutrisno. Upacara Daur
Hidup Adat Jawa. Semarang: Effhar, 2005
Sunarka, J. Tradisi
Ruwatan Dalam Kaca Pandang Iman Katolik: Iman Katolik Membudaya Religius Lokal. http://www.katedralpurwokerto.net/index.php?option=com
content&task=view&id=959&Itemid=41, Rabu, 22 September 2010
[2] Malam kebahagiaan merupakan malam di mana keluarga dan juga para tetangga
berkumpul untuk mengadakan lek-lekan(tidak
tidur semalaman), Bdk. Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: PN. Balai
Pustaka: 1984), hlm.377.
[4] Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa (Semarang:
Effhar: 2005), hlm.34.
[5] Koentjaraningrat, Kebudayaan..., hlm.376-377.
[6] Sutrisno Sastro Utomo, Upacara...,hlm.35.
[7] KWI. Kompedium
Katekismus Gereja Katolik (Yogyakarta: Kanisius: 2009), hlm.91, no.247.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar