Rabu, 05 September 2012

GERAK SEBAGAI PEMBUKTIAN EKSISTENSI ALLAH MENURUT JALAN PERTAMA DARI LIMA JALAN THOMAS AQUINAS




GERAK SEBAGAI PEMBUKTIAN EKSISTENSI ALLAH
MENURUT  JALAN PERTAMA DARI LIMA JALAN THOMAS AQUINAS


I.          Pengantar
            Banyak diskusi mengenai Allah dalam hidup umat manusia. Hal ini tiada pernah akan tuntas. Keterbatasan daya pikir manusia tiada dapat mengungkap realitas Allah secara penuh.  Dalam perjalanan sejarah banyak tokoh mencoba memahami realitas Allah, baik secara spiritual maupun rasional. Salah satu tokoh yang berusaha memahami Allah secara rasional ialah Thomas Aquinas.  
Perkembangan teologi Kristani pada zaman modern ini, tidak terlepas dari peran Thomas Aquinas, seorang teolog dan filsuf pada abad pertengahan. Pandangan-pandangannya filsafatnya hingga kini masih menarik untuk dibahas. Filsafatnya yang bersandar pada prinsip-prinsip Aristoteles, dikembangkan dan digunakan untuk menciptakan sebuah teologi. Meskipun demikian, ia tetap mengakui filsafat sebagi ilmu yang otonom. Pandangannya tentang eksistensi Allah terdapat dalam karyanya, Summa Teologiae, yang ingin memberi pengakuan akan kemampuan rasio manusia untuk mengenal Allah. Pandangannya itu coba dibuktikannya melalui Lima Jalan. Dalam pembahasan ini kita akan melihat jalan pertama dari lima jalan yang diutarakannya, yaitu argumentasi dari “gerak”               

II.        Sekilas Riwayat Hidup
Thomas Aquinas atau Thomas dari Aquino hidup pada tahun 1225-1274. Ia merupakan seorang filsuf dan teolog yang paling menonjol pada masa skolastik. Ia dilahirkan di Rocca Sissa, dekat Napels, Italia, dari keluarga bangsawan. Ia merupakan anak ketujuh dari pasangan Landolfo dan Theodora. Pada usia 18 atau 19, ia menggabungkan diri dengan Ordo Dominikan. Semula  ia belajar di Napels, tapi kemudian pindah ke Paris menjadi murid Albertus Agung dan juga di Koln.[1] Setelah menyelesaikan studinya (1252-1259), ia mengajar di Paris dan juga beberapa tempat di Italia. Pada tahun 1269-1272, dia menjabat sebagai guru besar teologi di universitasnya.
            Pada usia 49 tahun, tepatnya pada tanggal 7 Maret 1274 ia meninggal.[2] Karyanya antara lain ialah Summa Contra Gentiles (ikhtisar melawan orang-orang kafir), yang merupakan uraian sistematis tentang teologi. Karyanya yang utama adalah Summa Teologiae (ikhtisar teologi). Meskipun belum selesai seluruhnya, karya ini termasuk karangan-karangan penting dari seluruh kesusastraan Kristiani.

III.                         Lima Jalan Thomas Aquinas tentang Eksistensi Allah
Perihal pengetahuan tentang Allah, Thomas Aquinas memaparkan lima bukti eksistensi Allah. Bukti-bukti itu biasa disebut juga Lima Jalan (The Five Ways, Quinque Viae). Kelima bukti ini merupakan argumen paling terkenal dari Thomas Aquinas. Bukti-bukti ini dipengaruhi juga oleh pandangan para filsuf yang mendahuluinya, seperti Plato, Aristoteles, Augustinus, Moses Maimonide dan Ibn Sina.[3]
Thomas Aquinas menggunakan argumen a posteriori[4] untuk membuktikan eksistensi Allah. Dengan demikian argumen-argumennya bertolak dari pengalaman konkret tentang dunia ini, yaitu melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Kelima bukti tentang eksistensi Allah yang diutarakannya termasuk juga dalam argumen a posteriori dan sekaligus bersifat rasional.
Bukti-bukti akan adanya Allah ini bertolak dari lima realitas dunia. Kelima realitas itu, yaitu adanya gerak; adanya penyebab; adanya sesuatu yang dapat “ada” dan “tidak ada”; yang ada dari dunia ini mempunyai kesempurnaan tertentu, baik itu lebih maupun kurang; serta adanya keteraturan dan keterarahan alam.[5] Secara garis besar bukti-bukti itu dapat dibagi menjadi tiga: ketiga bukti pertama disebut bukti kosmologis, karena didasarkan pada kosmis; bukti keempat disebut bukti ontologis, karena bertolak dari yang ada; bukti kelima disebut juga bukti teleologi, karena berangkat dari keteraturan dalam alam dan tujuan keteraturan.

IV.       Pandangan Thomas Aquinas tentang Gerak  
Dalam kamus filsafat, Lorens Bagus membagi gerak menjadi dua, yaitu gerak umum dan khusus. Menurutnya, gerak umum adalah suatu perubahan, mencakup semua bentuk perubahan seperti perubahan dalam kualitas, kuantitas, posisi, bentuk, dan potensi. Gerak khusus atau gerakan merupakan perubahan lokasi spasial dari benda-benda yang berhubungan satu sama lain (proses perubahan tempat/posisi).
            Gerak merupakan Jalan Pertama mengenai eksistensi Allah yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Jalan Pertama ini disebut juga ex motu[6] (from that which is moved to the mover).[7] Gerak dimengerti oleh paham Aristotelisme sebagai perubahan dari potensi ke kaktus. Dalam pergerakan itu tidak ada yang berubah, kecuali dalam posisi potensial. Jadi, pergerakan yang dimaksudkan adalah perubahan dari potensi ke aktus.

Suatu Gerak Digerakkan oleh yang Lain
            Kita dapat mengetahui bahwa bumi bergerak melalui pengalaman inderawi. Di atas bumi ini banyak sekali perubahan. Kita dapat menangkap perubahan itu sebagai sebuah  fakta. Thomas Aquinas berpandangan bahwa sesuatu tidak dapat berubah dari potensi ke kaktus, kecuali bila digerakkan atau dilakukan oleh sesuatu yang sudah berada dalam keadaan aktus.[8] Apa yang berada dalam keadaan aktual panas, tidak dapat sekaligus panas secara potensial, tetapi ia memiliki potensi untuk dingin.      
            Kita dapat merasakan bahwa banyak hal di bumi bergerak. Namun, sesuatu hal tidak mungkin sekaligus menjadi penggerak dan yang bergerak atau dengan kata lain bergerak sendiri. Setiap hal yang bergerak itu tentu ada penyebabnya. Segala sesuatu yang bergerak digerakkan oleh penggerak sebelumnya yang sudah menjadi aktus. Gerak sebelumnya juga digerakkan oleh penggerak sebelumnya lagi. Bisa dikatakan bahwa apa pun yang bergerak harus digerakkan oleh yang lain.[9]
Penggerak Pertama yang tiada Digerakkan
            Setiap gerakan di alam semesta ini memiliki sebab. Gerakan terjadi karena akibat dari gerak sebelumnya. Begitu juga seterusnya, bahwa ada penggerak sebelumnya yang menjadi sebab dari setiap gerakan. Akan tetapi, ini tidak dapat terus berjalan tanpa batas tak berhingga, karena dengan begitu tidak akan ada penggerak pertama, dan akibatnya, tidak ada penggerak lain.[10] Oleh karena itu, perlu untuk sampai pada sebuah penggerak pertama yang tak tergerak oleh gerakan lain. Setiap hal bergerak hanya karena mereka digerakkan oleh Penggerak Pertama. Gerakan inilah yang kita sebut Tuhan.
Setiap penggerak lain hanya memperkaya, tidak akan pernah cukup dan akan selalu tergantung pada Penggerak Pertama. Penggerak yang alasannya benar-benar dari dalam diri kemurahan-Nya, tanpa perlu adanya pengondisian. Ia adalah energi tertinggi yang tidak perlu mengganggu dirinya untuk menyumbangkan kesempurnaan. Ia adalah sebuah operasi yang tidak memiliki prinsip dan merupakan tindakan yang mutlak.[11]

V.        Penutup
            Eksistensi Allah sebagai sebuah misteri yang agung, tiada pernah tuntas seutuhnya dibicarakan dan dipertanyakan oleh manusia. Banyak filsuf sebelum Thomas Aquinas mengemukakan pandangannya mengenai eksistensi Allah. Pandangan-pandangan itu tetap diterima meskipun cenderung kurang ada keseimbangan antara peranan iman dan rasio manusia. Thomas Aquinas mencoba memberi bukti peranan rasio manusia dalam membuktikan eksistensi Allah. Pemikirannya itu dituangkannya dalam Lima Jalan, yang bertolak dari pengalaman konkret manusia.   
            Dia beranggapan bahwa bahwa eksistensi Allah dapat kita ketahui melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Jalan Pertamanya yaitu argumentasi dari gerak. Dia berpendapat bahwa setiap gerak di bumi disebabkan oleh gerak yang lain. Gerak-menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas. Maka, haruslah ada penggerak pertama. Penggerak Pertama inilah yang kita kenal, yaitu Allah.



BIBLIOGRAFI


Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius,1983.

Bogliolo, Luigi. Rational Theology. Rome: Urbaniana University Press, 1985.

C.M, K. Priut, J. Adisubroto, dan W.J.S. Poerwadarminta,, Kamus Latin-Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1969.

Baird, Forrest E. dan Walter Kaufmann. Philosophic Classics. 2nd Edition.Vol.II.Medieval Philosophy. New Jersey: Prentice Hall, Upper Sale Hall, 1997.

Heuken, A. Ensiklopedi Gereja. Jilid VIII. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.

Suja`i. Pembuktian Eksistensi Allah atas Dasar Uraian tenteng Penyebab: Pembahasan Jalan Kedua dari Lima Jalan Thomas Aquinas. Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2004 (skripsi).




[1] Dr. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,1983), hlm. 35; bdk. juga A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja, Jilid VIII (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm.227; bdk.juga Forrest E. Baird
dan Walter Kaufmann, Philosophic Classics, 2nd Edition,Vol.II, Medieval Philosophy (New Jersey: Prentice Hall, Upper Sale Hall, 1997), hlm. 321.

[2] Thomas Aquinas meninggal dalam perjalanan ke Konsili Ekumenis di Lyon dan dimakamkan di Katedral Toulouse (Perancis). Oleh Gereja Katolik dinyatakan kudus pada tahun 1323, dan sebagai Pujangga Gereja (Doktor Angelicus) tahun 1567. [Lihat A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja ..., hlm.227.]

3 Suja`i, Pembuktian Eksistensi Allah atas Dasar Uraian tenteng Penyebab: Pembahasan Jalan kedua dari Lima Jalan Thomas Aquinas (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2004), hlm. 25.

4 A  posteriori berasal dari kata “a” yang berarti dari, dan “posteriori” yang berarti kemudian. [Lihat Drs. . K. Priut C.M, Drs. J. Adisubroto, dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Latin-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm.1 dan 659.]

[5] Suja`i, Pembuktian Eksistensi ..., hlm.2.

[6] Ex motu berasal dari kata “ex” yang berarti dari, menurut dan “moto, moveo, motus” yang berarti bergerak, menggerakkan, penggerak. [Lihat Drs. K. Priut C.M, Drs. J. Adisubroto, dan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Latin-Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 297 dan 548.]

[7] Luigi Bogliolo, Rational Theology (Rome: Urbaniana University Press, 1985), hlm. 32.

[8] Luigi Bogliolo, Rational ..., hlm. 33; bdk. juga Forrest E. Baird dan Walter Kaufmann, Philosophic Classics ..., hlm. 338.

[9] Luigi Bogliolo, Rational ..., hlm. 33; bdk.juga Forrest E. Baird dan Walter Kaufmann, Philosophic Classics ..., hlm. 338.

[10] Luigi Bogliolo, Rational ..., hlm. 33; bdk.juga Forrest E. Baird dan Walter Kaufmann, Philosophic Classics ..., hlm. 338.

[11] Luigi Bogliolo, Rational ..., hlm. 37.

Ritus Siraman Sebagai Salah Satu Upacara Untuk Menempuh Hidup Perkawinan


Ritus Siraman Sebagai Salah Satu Upacara
Untuk Menempuh Hidup Perkawinan

I.             Pengantar
Dalam Komunitas Jawa, ritus atau upacara-upacara yang berhubungan dengan peristiwa kehidupan manusia sungguh mengambil titik paling utama dan penting sehingga ritus atau upacara itu dihidupi dan terus dijalankan dan diwariskan secara turun temurun. Lewat ritus itu juga, kehidupan budaya akan diperkaya karena semuanya akan melengkapi untuk mencapai taraf kelayakan dan kepantasan. Kebudayaan itu sendiri hasil dari karya manusia yang akan mempunyai hubungan timbal-balik.
Dalam pembahasan ini, ritus yang akan digali lebih dalam adalah Ritus Siraman menjelang upacara perkawinan. Ritus Siraman ini adalah salah satu syarat untuk memenuhi upacara perkawinan menurut adat jawa yang diwariskan turun-temurun. Ritus ini akan dilihat dari pengertian, waktunya, tujuan, syarat-syarat yang digunakan, tata cara, doa, dan maknanya. Selanjutnya dalam refleksi akhir, yang akan coba mengkaitkannya dengan iman Kristiani. Tentu berdasar dari dasar biblis. Apakah gereja sendiri khususnya Gereja (umat Jawa) kristiani sungguh menerimanya?

II.          Arti Ritus Siraman
Kata Siram dan Siraman tidaklah asing lagi bagi orang jawa karena kata itu sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Siram dan Siraman memiliki arti yang hampir sama. Kata Siram dapat diartikan “mandi”[1]. Di sini mau ditegaskan bahwa mandi adalah tindakan aktif yang dilakukan oleh orang tersebut untuk membersihkan diri dari kotoran dengan menggunakan air yang bersih. Sedangkan Siraman dapat diartikan “guyuran” atau “curahan”[2]. Sebagai tindakan pasif karena yang melakukan tindakan bukan dirinya sendiri melainkan orang lain yang menyiraminya dengan air. Selain itu juga, kata siraman juga diartikan dimandikan[3].
Siraman berdasarakan buku yang tulis oleh Drs. Suwarna Pringgwidagda adalah upacara mandi kembangan bagi calon pengantin putra dan wanita sehari sebelum upacara panggih. Siraman juga disebut adus kembang karena air yang digunakan dicapur dengan kembang sritaman. Sri artinya raja, taman artinya tempat tumbuh. Jadi sritaman berarti memilih bunga khusus (rajanya bunga), yaitu bungan mawar, melati, dan kenanga. Siraman juga disebut ados pamor. Air mandi yang digunakan siraman merupakan perpaduan (pamoring) air ’suci’ dari berbagai sumber air, dicampur (diwor) menjadi satu. Selain itu, siraman juga merupakan awal pembukaan pamor (aura) agar wajah calon pengantin tampak bercahaya. 

III.           Waktu dan tempat siraman
Upacara siraman dilakukan antara pukul 10.00-15.00, sehari sebelum upacara panggih. Menurut mitos jawa, pada pukul 11.00 para bidadari turun mandi bersama bersukaria. Maka, agar dapat secantik dan seceria bidadari, calon pengantin juga mandi pukul 11.00 siang. Namun, ada pula calon pengantin yang mandi sekitar pukul 15.00. Hal ini dimaksudkan demi kepraktisan. Selesai siraman, calon pengantin langsung dirias, inilah disebut upacara ngerik guna menyambut dan mempersiapkan upacara selanjutnya yakni upacara midodareni. Dalam Keraton Yogyakarta, tempat yang biasa dipakai untuk upacara siraman adalah bagi calon pengantin putri dilaksanakan di keputren atau di Bangsal Sekar khedaton. Sedangkan calon pengantin pria, di Kasatrian atau di Gendhong Pompa.
Lalu bagaimana di masyarakat pada umumnya? Upacara siraman dalam masyarakat pada umumnya dapat dilaksanakan dikediaman calon pengantin wanita, baik untuk calon pengantin wanita itu sendiri maupun calon pengantin pria. Hal ini dimaksudkan hanya demi kepraktisan saja, terutama bagi calon pengantin pria yang berasal dari tempat yang jauh. Selain itu, upacara siraman dapat dilaksanakan dikediaman masing-masing pengantin. Maka jika itu dilaksanakan dikediamannya masing-masing, sebelum upacara siraman dilaksanakan, pihak orang tua putri mengirimkan sedikit air siraman (yang telah dicampur) secara simbolis kepada orang tua pihak pria untuk siraman calon pengantin pria. Demi kelayakan, kepantasan dan keelokan tempat upacara siraman dihias janur dan bunga sehingga tampak indah dan harum, asri dan mempesona.[4]

IV. Tujuan Siraman
Upacara tidak mungkin jika tidak tanpa tujuan. Sebagai upacara yang terus diwariskan, dihidupi dan dilestarikan adalah suatu upacara yang penting. Penting berarti menimbang berbagai unsur yang ada di dalamnya. Ritus siraman adalah sebuah ritus yang memiliki kesakralan, keagungan, kedalaman makna yang di dalamnya terdapat sebuah pengharapan akan tujuan. Berharap mengandaikan ada sebuah cita-cita bermakna yang ingin dicapai. Lalu apa saja yang menjadi tujuan dasar calon pengantin putra dan calon pengantin putri melaksanakan ritus siraman sebelum pada pelaksanaan upacara perkawinan? Ada beberapa hal yang penting diantaranya  antara lain:
1.      Ritus siraman memiliki tujuan memohon berkah dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa agar calon pengantin dibersihkan dari segala godaan dan pengaruh buruk., sehingga dapat melaksanakan upacara hingga selesai dengan lancar dan selamat. Selain itu, calon pengantin juga selamat dalam membangun rumah tangga dan dapat mencapai tujuan perkawinan.
2.      Ritus siraman menyucikan diri agar pelaksanaan upacara perkawinan lebih kidmat dan selamat, karena keesokan harinya akan melaksanakan upacara perkawinan yang sakral dan agung.
3.      Ritus siramana membersihkan segala kotoran hingga bersih “resik” seutuhnya, resik jiwa dan resik raga. Ini sebagai simbolik bahwa calon pengantin bertekad untuk berprilaku “bersih”, baik dalam bertutur kata maupun bertindak. Bersih dalam pikir “cipta”, bersih dalam hati “rasa” dan bersih dalam bertindak “karsa”.
4.      Ritus siraman menyegarkan badan. Selain segar secara fisik, juga segar mengandung harapan “segar” secara psikologis. Artinya, menyiapkan dan menyegarkan jiwa untuk melangkah pada kehidupan yang baru.[5] 
5.      Ritus Siraman calon pengantin putri dan calon pengantin putra akan dibersihkan secara lahiriah dan batiniah untuk menyongsong upacara perkawinan yang dhaup atau panggih[6] menurut adat jawa.
VI.           Syarat-Syarat  Upacara Siraman
Setiap ritus agar tetap menampakan kesakralan, kesucian dan kesyahan dalam pelaksanaannya maka dibutuhkan syarat-syarat tertentu yang memiliki arti penting dalam setiap bagiannya. Ritual akan mempunyai dampak, pengaruh dan makna yang dalam ketika semua terpenuhi secara baik dalam tata caranya dan lengkap dalam persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan. Lalu dalam Ritus Siraman ini apa yang dibutuhkan sebagai sarananya agar tetap sakral, suci dan syah? Ada beberapa bahan yang sulit dicari bahkan bahan tersebut banyak diperlukan. Syarat-syarat itu adalah:

a.  Syarat Material yang digunakan
1.  Air yang digunakan untuk upacara siraman harus berasal dari 7 sumber[7] yang tidak mudah dicari. Air berjumlah tujuh melambangkan harapan hidup saling menolong ”mitulungi, pitulungan”. Air sumber tua yang tidak pernah kering melambangkan hidup calon pengantin dapat memberikan penghidupan seperti layaknya air yang tidak pernah kering, rezeki terus mengalir, kemulian terus didapat dan yang tua dapat memberikan pengayoman kepada yang lebih muda[8]. Air ini akan dicampur di dalam khendi[9] dengan bunga setaman yang terdiri dari: bunga mawar, bunga melati, bunga kantil dan bunga kenanga. Percampuran ini dimaksudkan agar air yang akan disiramkan kepada kedua calon pengantin secara simbolik mengeluarkan keharuman dan kewangi-wangian[10]. Lalu  cengkir gading dua buah yang dimasukan dalam kembang setaman, dan uang logam Rp. 50,00 dan juga ada tersedia sehelai kain batik dan beberapa bahan baju[11].
2. Bahan selanjutnya adalah keluarga menyiapakan sesaji dan kosokan siraman untuk kelangsungan upacara. Sesaji siraman itu antara lain: tumpeng sega janganan (nasi tumpeng urapan), jajan pasar, nasi tumpeng robyong, dan ayam hidup. Sesaji ini mempunyai arti bahwa sebagai penghormatan kepada arwah leluhur yang telah meninggal dunia dan mohon berkat Tuhan agar keluarga yang baru dibangun dengan hidup rukun, saling hormat-menghormati, penuh kasih sayang dan selamat sejahtera.[12]  Sarana lain sebagai alasnya adalah klasa bangka baru, daun apa-apa, daun kara, daun kluwih, daun dadap serep, daun alang-alang. Daun-daunan ini memiliki arti bahwa kedua mempelai diharapkan bisa hidup seperti pohon menjadi pengayom lingkungan dan agar semuanya dapat berjalan lancar, selamat sentosa lahir batin (ojo ana sekoro kalis alangan sak wiji apa). Sarana selanjutnya adalah kain letrek, kain sindur[13] (kain semacam selendang yang berwarna merah, bertepikan putih melambangkan persatuan rahsa (unsur) ayah dan rahsa ibu), kain yuyu sekandang, kain lurik puluh watu, kain lawon dan sembagi[14]. Dalam perkawinan kain ini memiliki tujuan untuk meneruskan kehidupan generasi melalui pembangunan keluarga sejahtera. Segala rintangan atau hambatan tidak akan melemahkan kenyakinan diri mereka, mereka tahu apa yang harus diperjuangkan keluarga sejahtera terlebih dengan disertai doa restu orang tua kedua pengantin. 
3. Sarana lain adalah kosokan untuk menggosok badan. Sarana itu meliputi tepung berat 7 warna, mangir, daun kemuning, air satu klenting dan ratus dengan anglonya[15].
4. Dua kelapa hijau yang diikat sabutnya. Ini melambangkan calon pengantin senatiasa berdua, seia sekata, terikat tali kasih dan sayng hingga akhir hayat; juga melambangkan kedua calon besan telah bersatu tekad untuk menikahkan putra-putrinya.
5. Konyoh mancawarna lulur terbuat dari tepung beras dan kencur serta pewarna. Tepung konyoh lima warna, ron kemuning, mangir. Konyoh lima warna melambangkan kemanungalan warna cahaya (pamor) sarana pambukaning pamor ”sarana pembuka pamor” agar segala unsur cahaya berkumpul dan membuahkan cahaya pamor sehingga calon pengantin tampak lebih cantik (wanita) dan tampan (pria). Secara simbolik konyoh manca warna lulur bermakan agar segala cahaya menyatu di tubuh calon pengantin sehingga calon pengantin tampak beribawa dan indah untuk dipandang.
6. Gayung siramana yakni gayung yang dipakai untuk mengambil air siraman[16].  

VII.        Rangkaian Upacara Siraman
Dalam pelaksanaan ritus-ritus dalam kebudayaan masyarakat yang ada, khususnya Ritus Siraman ini mempunyai urutan-urutan yang sudah ditentukan. Pengurutan itu dibuat agar dapat membantu jalannya upacara itu sehingga upacara tersebut dapat berjalan dengan lancar dan baik.

a.        Pangabekti
Sebelum dilakukan upacara siraman, terlebih dahulu dilakukan upacara ngabekten. Calon pengantin wanita menghaturkan bakti kepada orang tuanya. Caranya adalah orang tua duduk berdampingan, ayah disebelah kanan dan ibu disebelah kiri, calon pengantin dikeluarkan (digandeng) menuju tempat pangabekten, ditempat pangabekten, calon pengantin wanita menghadap orang tua dengan berjalan jongkok dan sesampai di depan ayah, calon pengantin menyampaikan sembah dan sungkem pangabekti kemudian calon pengantin sungkem lagi. Orang tua memberikan restu dengan memegang bahu calon pengantin. Seletah itu calon pengantin wanita ngabekti kepada ibu[17]. Pernyataan yang disampaikan adalah
”Bapak-ibu ingkang satuhu kula bakteni, wekdal menika kula badhe nglampahi siraman, salajengipun badhe nglampahi dhaup kaliyan kangmas...... Awit saking punika, kula nyuwun dunga pangestu saha nyuwun pangampunten sedaya kalepatan kula salaminipun kula ndherek bapak saha ibu. Boten kesupen kula ugi ngaturaken sembah sungkem pangabekti sarta agunging panuwun awit sedaya panggulawenthahipun bapak saha ibu dhumateng kula wiwit kula taksih alit ngantos diwasa. Mugi-mugi bapak saha ibu tansah pinaringan berkah saha rahmathing Pangeran ingkang mahawelas lan asih. Amin. Kemudian ayah menjawab”....(nama) kang daktresnani, daktampa pangabektimu, dakapura sakebehing kaluputan, lan dakparingi pangestu anggomu arep nindakake sesuci kanthi jamsa pasiraman. Muga-muga bisa suci lair batinmu, sembada jiwa ragamu, mung rahayu widada kang bakal tinemu, wiwit awal nganti akhire. Amin.
Artinya adalah ayah-ibu yang sungguh muliakan, sekarang saya mau melakukan siraman, selanjutnya akan menikah dengan kangmas..... oleh karena itu, saya mohon doa restu dan memohon maaf atas segala kesalahan selama saya ikut ayah-ibu. Tidak lupa pula, saya menghaturkan sembah bakti sungkem serta terima kasih yang tiada tara atas segala didikan ayah-ibu kepada saya dari kecil hingga dewasa. Semoga ayah-ibu selalu diberi berkah dan rahmat oleh Tuhan yang Maha Pengasih dan penyayang. Amin. Ayah menjawaba ..yang saya cintai, saya–ibumu menerima sungkem pangabektimu, saya-ibumu memaafkan segala kelasahanmu, saya-ibumu melimpahkan doa dan restu semoga suci lahir dan batinmu melaksanakan siraman, kuat jiwa dan raga hanya keselamtana yang akan diujmpai dari awal hingga akhir. Amin[18].

b.        Siraman
Akhir dari upacara sungkem adalah melanjutkan upacara siraman. Saat inilah calon pengantin akan menerima siraman atau guyuran yang menjadi inti dari semuanya. Maka untuk melaksanakan upacara siraman ini ada urutan yang menjadi jalan upacara ini. Urutan itu anatara lain:
a.       Upacara siraman baik bagi calon pengantin putri maupun pengantin putra dilangsungkan sehari sebelum upacara perkawinan/akad nikah/ijab kabul dilangsungkan sesuai dengan iman kepercayaan masing-masing. Hal ini dijalankan agar tidak mempengaruhi jalannya upacara adat[19].
b.      Calon pengantin digandeng menuju ketempat siraman dan duduk ditempat yang telah disediakan. Orang tua pengantin wanita meracik warih pamorsing atau toya pamorsih, air diramu oleh orang tua dengan acara memasukan air pamorsih, menaburkan bumga sritaman dan memasukan dua butir kelapa hijau yang sudah diikat dengan sabutnya. Lalu dilanjutkan dengan doa oleh orang yang dipercaya pemangku hajat[20].
c.       Bagi calon pengantin putri di saat upacara siraman hendaknya memakai kain dengan motif grompal yang dirangkapi dengan kain mori yang berwana putih bersih dengan panjang dua meter dengan rambut yang terurai grompal[21].
d.      Bagi calon pengantin putra, yang memandikan adalah kedua orang tuanya. Bagi calon pengantin putri diharapkan harus duduk di bangku dan tubuh ditutup dengan kain putih. Di sini para kaum keluarganya, orang tua calon pengantin putra, para sesepuh wanita yang dipilih dan para sahabatnya yang ingin menyaksikan upacara itu dan yang terakhir untuk menyiram calon pengantin adalah juru sembaga (dukun)[22].

Setelah upacara siraman selelai, siraman ini ditutup oleh juru rias atau sesepuh. Pelaksanaannya adalah juru rias atau sesepuh mencuci rambut dengan landha merang, santan kanil dan bayu asem serta mengosokkan konyoh mancawarna pada tubuh calon pengantin, calon pengantin diguyur dengan air dikepala tiga kali hingga bersih, air yang digunakan untuk membersihkan wajah telinga, leher, tangan, dan kaki masing-masing tiga kali, setelah air kendhi kosong, juru phaes membanting kendhi dengan berucap: ”Niat ingsung ora mecah-mecah kendhi naging mecah pamore..(saya tidak memecah kendhi tetapi memcah pamornya..) ketika kendhi sudah pecah seraya berkata, ”wes pecah pamore (sudah terbukalah cahaya auranya) dan diikuti para hadiri. Lalu calon pengantin mengenakan kain motif grompal dan menutup badan dengan kain motif nagasari dan langsung kedua orangtuanya membimbing pengantin untuk melaksanakan acara selanjutnya (upacara ngerik)[23]. 

VIII.    Doa-doa yang diungkapkan
Setiap ritus atau upacara adat, doa adalah suatu bagian dan unsur yang hakiki di dalamnya. Doa memberi pengharapan dalam upacara tersebut. Dalam hal ini, Ritus Siraman juga menempatkan doa. Kalimat doanya adalah:
a.      ”Niat ingsun ora mecah kendhi, nanging mecah pamore anakku”. Artinya niat saya (orang tua pengantin) bukan memecah kendhi tetapi memecah pamornya anak saya [24].
b.      Saya berniat memandikan pengantin bertumpahan batu gilang menggunakan gayung pulung sari
c.       Supaya memiliki cahaya, cahaya Sang Sabawaya.
d.      Cahaya bersinar bagaikan Sang Rembulan, Simbar Jaya di dada Sang pengantin.
e.       Turunnya para bidadari sekethi kurang satu, bagaikan Dewi Supraba.
f.        Disiram tanggal satu nampak seperti tanggal sepuluh, dan bila disiram tanggal sepuluh seperti bulan purnama tanggal lima belas[25].

Setelah rangkaian upacara selesai, maka acara selanjutnya adalah bagi calon pengantin putra dan kembali ke pondokan yang jaraknya tidak jauh dari kediaman pengantin putri. Dalam kesempatan ini bagi calon pengantin putra dilarang bertemu dengan calon pengantin putri. Waktu yang tersisa ini digunakan oleh calon pengantin putri untuk diphaes[26] (make up), dan dikerik. Dalam pelaksaannya adalah sehari menjelang upacara perkawinan dilaksanakan[27].

IX.      Tujuan Keselamatan Menurut Adat dan Iman Kristiani
Setiap ritual pasti memiliki tujuan keselamatan yang ingin hendak dicapai. Keselamtan menjadi hal yang paling mendasar untuk hidup manusia. Maka,  untuk mencapai keselamatan itu manusia berusaha mencari jalan lewat ritus-ritus atau upacara-uparaca baik menurut adat maupun agamanya masing-masing. Lalu apa tujuan dari upacara ini dipandang dari sisi adat dan sisi iman kristiani.
Dipandang dari sisi adat, bahwa Ritus Siraman mau mengungkapkan kesiapan secara lahir dan batin bagi calon pengantin putra dan calon pengantin putri untuk memasuki dan membangun sebuah keluarga baru yang nantinya menjadi keluarga yang rukun. Selain itu, agar prosesi pernikahan berjalan dengan selamat dan kelak dapat membangun keluarga dengan baik[28]. Harapannya lewat upacara ini, keluarga baru diselamatkan ketika mendapat kesusahan. Kesiapan itulah hendaknya diawali dengan pembersihan diri.
Lalu bagaimana Iman Kristiani menyorotinya. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, siraman diartikan sebagai pentahiran dan pembersihan diri dari segala penyakit dan noda dalam hal ini sebagai proses akan pembebasan mini. Dalam kitab Yesaya 27:3 dijelaskan bahwa siraman menjadi tanda bahwa manusia senantiasa mendapat perlindungan dari Allah. Allah yang senantiasa melindungi dan menjaga agar orang lain tidak menggagunya. Hal yang sama, juga dijelaskan di dalam kitab ke 2 Raja-raja 5:10 bahwa Nabi Elisa menghendaki agar Naaman mentahirkan diri dengan pergi mandi tujuh kali dalam sungai Yordan. Mengapa Nabi Elisa menghendaki agar  Naaman mandi tujuh kali? Dalam perjanjian lama angka tujuh menjadi angka sempurna. Maka, jika dengan setia Naaman mentaati perintah Nabi Elisa maka ia akan sungguh sempurna dalam pentahirannya. Dirinya akan sungguh-sungguh disempurnkan.
 Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, mandi dapat disimbolkan sebagai simbol pembaptisan yang menyatukan pribadi manusia dengan Allah dalam persekutuan Gereja. Pembaptisan sarana utamanya adalah air dan air ini yang akan disiramkan ke dahi calon baptis. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus 5:22-26 mengungkapkan bahwa kasih Kristus adalah dasar hidup suami-istri. Agar kasih Kristus itu kudus dalam diri suami-istri, hendaknya mereka itu membersihkan diri dengan mandi dengan air dan firman. Air menjadi sarana untuk menyucikan diri. Kesatuan suami-istri menjadi kesatuan yang luhur dan suci karena Allah menghendaki-Nya. Dalam suratnya kepada Titus 3:5, Paulus mengungkapkan betapa rahmat Allah telah dirasakan karena permandian. Permandiaan mengungkapkan betapa ada kelahiran baru dan pembaharuan baru yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Ungkapan Paulus baik kepada jemaat di Efesus dan kepada Titus sudah menjelaskan maksud dan makna dari uparaca siraman atau permandian tersebut.
Maka apa yang  terjadi dalam adat jawa mengenai Ritus Siraman adalah suatu upacara yang memiliki dasar dan tujuan yang kuat dan bukan hanya sekedar siraman saja. Dalam hal ini, pandangan iman kristiani mengenai Ritus Siraman adalah pandangan yang positif. Mengapa? Ritus tersebut dalam iman kristiani sudah berjalan sejak dahulu yang terungkap baik dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Kitab Suci Perjanjian Baru. Gereja sampai saat ini pun khususnya di wilayah jawa masih menerimanya dan menghidupinya sebagia ritus suci. Gereja menyadari bahwa dalam pewartaanya tidak akan berjalan baik jika Gereja sendiri tidak mau masuk dalam kultur masyarakat.

X.          Penutup   
Masyarakat yang hidup akan mempunyai kekayaan budaya. Kekayaan kebudayaan inilah yang menggambarkan bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang ada akan keberadaannya. Ritus Siraman menjadi ritus yang telah mewarnai kebudayaan orang jawa. Bahkan ritus ini menjadi ritus yang penting menjelang upacara perkawinan. Memiliki doa-doa, simbol-simbol, syarat-syarat dan makna-makna yang misteri di dalamnya. Sebagai ritus yang penting, maka ritus ini terus diwariskan turun-terumun. Dalam hal ini, Gereja (iman kristiani) mengakui keberadaannya sebagai ritus yang memiliki dasar dan tujuan yang  suci dan sakral yaitu keselamatan yang hendak dicapai terlebih dalam keluarga baru. Banyak hal yang menarik yang telah menjadi identitas dari salah satu kebudayaan jawa mengenai upacara adat orang jawa. 








Bibliografi


Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.

Konferensi Waligereja Indonesia, Alkitab, Jakarta: LAI, 2001.

Pringgawidagdo, Suwarna, Tata Upacara Wicara Pengantar Gaya Yogyakarta, Yogyakarata: Kanisius, 2010.

Sastro Utomo, Sutrisno, Upacara Daur Hidup Adat Jawa, IKAPI: EFFHAR, 2002.

Wiyasa Bratawidjaja, Thomas, Upacara Perkawinan Adat Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.






[1] Kata mandi dijelaskan sebagai tindakan membersihkan tubuh dengan air dan sabun dengan cara menyiramkan, merendamkan diri dengan air. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hlm 709.

[2] Kata guyuran dijelaskan sebagai tindakan mengguyur dan menyiram dengan mengunakan gayung atau ember. Sedangkan curahan dapat diartikan sesuatu curahan (seperti hujan); hasil mencurahkan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hlm 378, 225.

[3]  Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa, (Anggota IKAPI;EFFHAR, 2002), hlm 55.

[4]  Drs. Suwarna Pringgwidagda, Tata Upacara dan Wicara, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 99-100.

[5]  Tujuan siraman ini ditulis oleh Drs. Suwarna Pringgwidagda, Tata Upacara Wicara Pengantar Gaya Yogyakarta, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 100-101.

[6] Dhaup/Panggih dapat diartikan salah satu upacara adat jawa yang utama, untuk mengabsyahkan perkawinan dengan disaksikan oleh tamu undangan, para keluarga, sanak famili, hadai taulan, dan tetangga. Upacara ini dimulai dengan pemberangkatan calon pengantin laki-laki. Panggih juga dapat diartikan ketemu. (Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa, (Anggota IKAPI;EFFHAR, 2002), hlm 69. Dalam upacara panggih selalu diringi dengan gending-gending antara lain: Ladrang wilujeng pelog barang. Gending ini digunakan untuk mengiringi pengantin putra menuju ke rumah pengantin putri untuk dipertemukan. gending kodok ngorek diteruskan ketawang laras maya pelog barang. Artinya kedua mempelai dipertemukan lalu didudukkan oleh ayah mempelai putri. Lalu syarat apa yang harus dipenuhi dalam ritus itu? Lagu atau dalam bahasa jawanya gending-gending ini sungguh memiliki arti yang dalam. Kedalaman arti yang bisa dirasakan dan ditampakan adalah kegembiaraan dan sukacita dalam peristiwa itu baik kegembiraan dan sukacita yang sungguh dirasakan oleh pengantin tersebut maupun para saudara-saudari, pengiring-pengiring dan kerabat-kerabat lainnya yang ikut dalam perarakan itu. Ada suasana yang tidak biasa-biasa saja. 


[7] 7 Sumber artinya bahwa tujuh dalam bahasa jawa pitu. Maksudnya adalah jika kelak mendapat kesulitan dalam hidupnya, agar selalu mendapat pitulungan (pertolongan) dari Yang Maha Kuasa. Ibid, hlm 110.

[8] Drs. Suwarna Pringgwidagda, Tata Upacara Wicara Pengantar Gaya Yogyakarta, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 103.

[9] Kendhi adalah suatu tempat untuk air minum yang terbuat dari tembikar (segala jenis yang terbuat dari tanah liat). Ibid. hlm  56.

[10] Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa, (Anggota IKAPI;EFFHAR, 2002), hlm 57.

[11] Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1988), hlm 109-110.
[12] Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1988), hlm31-32.

[13] Kain sindur berasal dari kata sin yang berarti malu dan nDur yang berarti mundur. Jadi sindur berarti malu untuk mundur. Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa..., hal 117.

[14] Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1988), hlm 109-110.
[15] Ibid.

[16] Peralatan atau ubarampe dari nomor 4-6 dimabil dari  Drs. Suwarna Pringgwidagda, Tata Upacara Wicara Pengantar Gaya Yogyakarta, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal.104-105.

[17] Drs. Suwarna Pringgwidagda, Tata Upacara………… , (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal.105-108.
[18] Drs. Suwarna Pringgwidagda, Tata Upacara………… , (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 106-107.

[19] Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1988), hlm .38-39.

[20] Drs. Suwarna Pringgwidagda, Tata Upacara………… , (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal.108-109.

[21] Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1988), hlm.

[22] Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa, (Anggota IKAPI;EFFHAR, 2002),  hlm 55.

[23] Drs. Suwarna Pringgwidagda, Tata Upacara………… , (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal.109-110.

[24] Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa, (IKAPI: EFFHAR, 2002),  hlm 56.

[25] Doa dari b sampai f adalah doa menurut Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1988), hlm..

[26] Kata diphaes berasal dari kata kerja maesi yang berarti merias calon mempelai wanita oleh seorang wanita ahli dalam tugas itu, agar wajah calon mempelai wanita terlihat lebih cantik dan mirip dengan gambaran wajah seorang bidadari. (Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1988), hlm 120.).

[27] Ibid, hlm 38-39.

[28] Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa, (IKAPI: EFFHAR, 2002),  hlm 56.